Thursday, February 26, 2009

Heaven's Above ( stories about love and hope )

Nah kalau ini adalah pemberian saya kepadanya. CD kompilasi ini saya beri judul Heaven's Above ( stories about love and hope ). Mayoritas bergenre Indierock, Jazz serta Post-Rock.



track list

01. Cocteau Twins - Evangeline
02. Ljungblut - Sympathy On My Soul
03. Porcupine Tree - How Is Your Life Today
04. Eliza Lumley - Creep
05. Kelly de Martino - Honest
06. Yoko Kanno - Cloe
07. We Are Scientists - Hoppipolla
08. Mono - Burial at Sea
09. Koe:r - Comes Love
10. Logh - Weather Island
11. Bat For Lashes - I Saw A Light
12. Emiliana Torinni - Heard It All Before
13. July Skies - You Take Me Through The Day
14. Guns n' Roses - This I Love
15. Leaves - Whatever
16. Sunn O))) & Boris - The Sinking Belle (Blue Sheep)

try

Nah, salah satu persamaannya yang tidak di sangka yaitu track Hoppipolla. Dia memberikan versi asli dari Sigur Ros kepada saya dan saya memberikan versi cover oleh We Are Scientist.

we sure are cute for two ugly people

Yeah itu adalah judul 2 Month Gift yang diberikan oleh dia yang juga bertepatan hari Valentine (meskipun itu juga sudah lewat beberapa hari). Yep, paket itu datang dari Jakarta tepat sampai ke rumah sekitar jam 9 pagi. Isinya antara lain :

-. Double CD ( we sure are cute for two ugly people)
-. DVD Music & Lyrics
-. DVD Slumdog Millionaire
-. 1 coklat bentuk hati
-. 1 kaleng kecil coklat bentuk butiran

Nah awal saya melihat cover Double CD nya ... benar-benar membuat saya terkejut !! wew ... satu lagi gambar yang aneh tapi tetap menarik dah ... hehehehe !

Double CD itu antara lain :

-. CD kompilasi dengan judul You, Me and The Movies
-. CD MP3 Indiepop Version


nah berikut ini track list CD kompilasi yang dia beri judul : You, Me and The Movies

01 - Jim Sturgess - Across The Universe
02 - The Wonders - That Thing You Do
03 - The Cardigans - Lovefool
04 - The Moldy Peaches - Anyone Else But You
05 - Swing Girls - Moonlight Serenade
06 - Shiina Ringo - Sakuran (ONKIO ver.)
07 - Travis - Love Will Come Through
08 - Hugh Grant & Halley Bennett - Way Back Into Love
09 - Jason Wade - You Belong To Me
10 - Ray Lamontagne - Hold You In My Arms
11 - Patrick Doyle - Kissing In The Rain
12 - Craig Armstrong feat Elizabeth Fraser - This Love
13 - Sigur Ros - Hoppipolla
14 - Yann Tiersen - La Valse d'Amelie (orchestra version)
15 - Zazie - La Vie en Rose

Hmm, kompilasi yang menarik. Enak banget, terutama That Thing You Do ... karena saya sendiri sudah kangen berat sama soundtrack film yang dibintangi Tom Hanks ini. Dan satu lagi soundtrack film Music & Lyrics yang juga saya suka ... Way Back Into Love. Mantap dah !!

Monday, February 9, 2009

Genjer-Genjer

Genjer, sayuran ini pernah menjadi lirik lagu “Genjer-Genjer” yang begitu populer di era 60 an. Bahkan sempat dilarang pada saat pemberontakan PKI di negeri ini.

Sayuran yang dipercaya dapat menjauhkan penyakit kanker kolon dan sembelit ini ternyata juga kaya akan serat yang baik untuk menjaga saluran sistem pencernaan.

Genjer awalnya hanya campuran dedak dan bekatul untuk makanan ternak. Saat Jepang berkuasa di Indonesia (1942-1945) dan membuat ekonomi porak-poranda, masyarakat terpaksa menjadikan genjer sebagai salah satu bahan makanan.

Pembahasan disini bukan tentang sayuran genjer melainkan tragedi tahun 60an yang pantas kita renungi, betapa kekuatan politik sangat berkuasa di tanah air.

Kisah ini berawal dari diciptakannya sebuah lagu kontroversial oleh seorang seniman asal banyuwangi yang bernama M. Arif. M. Arif masuk kedalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (lekra), organisasi yang dekat dengan PKI. Zaman pun berganti dari kolonialisasi menjadi sebuah orde, lagu genjer-genjer pun mulai menyita animo masyarakat waktu itu. Berbagai kalangan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda menyanyikan lagu yang sederhana ini.

Saking populernya, tercatat Bing Slamet dan Lilis Suryani penyanyi beken waktu itu juga gemar menyanyikannya dan sempat masuk piringan hitam.

Kedekatan lagu genjer-genjer dengan tokoh-tokoh Lekra dan komunis memang tak dapat dipungkiri. Bahkan dalam sebuah perjalanan menuju Denpasar, Bali pada tahun 1962, Njoto seorang seniman Lekra dan juga tokoh PKI sangat kesengsem dengan lagu genjer-genjer. Waktu itu Njoto singgah di Banyuwangi dan oleh seniman Lekra diberikan suguhan lagu genjer-genjer.

Ia memprediksi lagu genjer-genjer akan segera meluas dan menjadi lagu nasional. Ucapan Njoto segera menjadi kenyataan, tatkala lagu genjer-genjer menjadi lagu hits yang berulang kali ditayangkan oleh TVRI dan diputar di RRI.

Tetapi semuanya berubah ketika tahun 1965 tiba. Indonesia memasuki babak politik baru setelah tragedi 30 September 1965 meletus.

Jenderal-jenderal Angkatan Darat tewas terbunuh, dan PKI menjadi tertuduh utama. Orang-orang yang dianggap memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan PKI ditangkap, dibantai, dan dijebloskan ke hotel prodeo.

Para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi kewanitaan underbouw PKI, yang biasa menyanyikan “Genjer-genjer” dalam berbagai acara yang mereka gelar, mengalami nasib menyedihkan. Mereka disiksa, dipenjara, dan direnggut dari keluarga dalam rentang waktu lama.

Entah apa yang salah dengan genjer-genjer sebagai sebuah produk kebudayaan ?

Selepas PKI dan orang-orang PKI, berikut anak cucunya dihancurkan oleh Orde Baru, tak terkecuali pula lagu genjer-genjer yang sebenarnya adalah lagu yang menggambarkan potret masyarakat pada zaman pendudukan Jepang.

Tetapi seakan-akan orang orang sekarang menganggap bahwa lagu ini lagunya PKI, lagu sesat, lagu setan. Ironisnya, sayur genjer juga menghilang dari peredaran seiring menghilangnya PKI beserta lagu Genjer-genjernya. Tak pernah lagi terdengar di tengah masyarakat yang menggunakan genjer sebagai sayur mayur.

Semoga saja tulisan ini juga tidak ikut-ikutan hilang seperti genjer.

Banyak versi siapa pencipta lagu Genjer - genjer sebenarnya seperti yang ditulis di sini. Bagi anda yang belum mengetahui lirik lagu genjer, inilah liriknya :

Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Oleh satenong mungkur sedot sing tolah-tolih
Gendjer-gendjer saiki wis digawa mulih

Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
didjejer-djejer diunting pada didasar
didjejer-djejer diunting pada didasar
emake djebeng tuku gendjer wadahi etas
gendjer-gendjer saiki arep diolah

Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
setengah mateng dientas digawe iwak
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sa piring sambel penjel ndok ngamben
gendjer-gendjer dipangan musuhe sega


Artinya :

Gendjer-gendjer ada di lahan berhamparan
Gendjer-gendjer ada di lahan berhamparan
Ibunya anak-anak datang mencabuti gendjer
ibunya anak-anak datang mencabuti gendjer
Dapat sebakul dipilih yang muda-muda
Gendjer-gendjer sekarang sudah dibawa pulang

Gendjer-gendjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Gendjer-gendjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Emaknya jebeng beli genjer dimasukkan dalam tas
Gendjer-gendjer sekarang akan dimasak

Gendjer-gendjer masuk belanga airnya masak
Gendjer-gendjer masuk belanga airnya masak
setengah matang ditiriskan dijadikan lauk
setengah matang ditiriskan dijadikan lauk
nasi sepiring sambal pecel duduk di ambin
Gendjer-gendjer dimakan musuhnya nasi


Atau ingin mendengarkan mp3nya ? silahkan download di SINI

diambil dari : nara sumber

Saturday, February 7, 2009

Shine On Blues



Saya mau mereview band paman saya asal Surabaya yaitu Shine On Blues. Sebenarnya band ini lebih fokus manggung daripada rekaman. Awalnya hanya membawakan lagu lagu blues serta rock 'n roll yang pernah ada sebelumnya, sampai pada saat tertentu mencoba membuat recording album sendiri dan EP Do It yang dirilis pada tahun 2006 adalah buktinya.

Personil tetap band ini ada 2 orang yaitu Mr. D aka Doddy, seorang keyboardis yang pernah menjadi additional player pada album Extravaganza milik grup band Rock asal Surabaya juga yaitu Boomerang. Dan personil yang satunya adalah Alex yang bertindak sebagai seorang Lead Guitarist dengan permainan Blues yang kuat serta juga mengisi vokal. Selama perjalanan karirnya, sudah banyak sekali band ini gonta-ganti personil band. Dan sampai saat ini band ini menjadi home band di Palimanan Cafe Ciputra serta mengisi acara tetap Blues Night di Radio JJFM 105.1 Surabaya.


-shine on blues live concert-


Dan pada tahun 2006, mereka mencoba merekam dan merilis hasil karya mereka sendiri dalam bentuk EP (Extended Play) yang mereka beri judul Do It. Jika kata-kata dalam bahasa inggris itu diterjemahkan langsung berarti "lakukan" tetapi maksud sebenarnya bukan itu. Menurut pengakuan gitaris Shine On Blues sebenarnya kata Do It itu plesetan dari kata Duit yang tak lain adalah uang.

Dan bila berbicara mengenai mengenai musik mereka dalam album ini, kalau bisa dibilang nuansa musik blues masih belum terasa kental di dalam album ini meskipun pada beberapa track kental juga nuansa blues dengan permainan gitarnya. Tetapi yang pasti, inilah hasil karya mereka yang juga disebarkan secara terbatas. Meskipun ada kekurangan tetapi inilah Shine On Blues, band Blues yang tetap eksis di belantara musik Indonesia dan khususnya di Surabaya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

EP : Do IT
Release : 2006
Genre : Blues

Track List

01. Amor Vincit Omnia
02. Do It
03. 2 Hati
04. Smoking Area

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

try
last.fm
official

- Be Blues Be Legend, Keeping The Faith -

Tuesday, February 3, 2009

Sejarah Perfilman Nasional

Film pertamakali diperkenalkan kepada khalayak Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu) pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa ini film disebut sebagai “Gambar Idoep". Hal ini termaktub dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900): "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."

Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya.

Selain melakukan promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat yang terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP) dan Kelas III (kemudian disebut kelas "kambing" yang identik dengan pribumi). Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Namun film yang sebenar-benarnya dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, dengan dukungan Wiranatakusumah V (Bupati Bandung pada masa itu. Pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).

Pada masanya, gedung bisokop ini dibangun sebagai bagian yang terpisahkan dari kawasan Jalan Braga, Bandung. Sebuah kawasan belanja bergengsi bagi para Meneer Belanda pemilik perkebunan. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer itu akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan. Didirikan pada awal dekade tahun ’20-an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker.

Gedung Bioskop Majestic, di masa kini

Pemutaran film pada masa ini, biasanya didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Pemutaran filmnya sendiri baru dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar, di pelataran bioskop Majestic, sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian. Menjelang film akan mulai diputar, orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih meruapakan film bisu. Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.


ERA 1930 - 1941



Tahun 1931-an, Perfilman Indonesia mulai bersuara. Bahkan film dari Hollywood yang masuk sudah menggunakan teks melayu. Sejarah mencatat, pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Menyusul Eulis Atjih (masih dari produser yang sama). Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yg membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yg memproduksi Setangan Berloemoer Darah.

Menyusul Resia Boroboedoer, Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda dan Ata De Vischer, Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menika (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.

Selama kurun waktu itu (1926 - 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskopun ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve , hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.

Pada periode 1933-1936, perfilman Hindia Belanda diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.

Di tahun 1937, Film musikal "Terang Boelan" (het Eilan Der Droomen) menjadi film terpopuler di eranya dan mencuatkan nama Roekiah serta Raden Mochtar sebagai pasangan aktror dan aktris yang paling digemari. Film ini adalah produksi dua kekuatan non-pribumi: Krugers dan Wong Bersaudara.

Hingga periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Pada periode ini, produksi film Indonesia mengalami panen pertama kali dan mencapai puncaknya pada tahun 1941. Ditahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yg diproduksi, terdiri dari 30 film cerita dan 11 film bersifat dokumenter. Film-film yang diproduksi pada masa ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga.

Tahun 1934 para pelaku industri film mulai membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia (Nederlandsch Indiche Bioscoopbond), menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film (Bond van Film Importeurs). Pada awalnya, pengurus dan anggotanya adalah orang-orang non-pribumi. Ketika dalam organisasi tersebut mulai masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belandapun mulai mencurigai badan tersebut sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka.

Oleh karenanya, Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman dengan membentuk Film Commissie (cikal bakal lahirnya Badan Sensor Film atau LSF di masa kini. Dasar hukumnya yang menjadi landasan dibetuknya Film Commisie adalah Film Ordonantie buatan Pemerintah Belanda (cikal bakal lahirnya BP2N dan Undang-Undang Perfilman Indonesia di masa kini).


ERA 1942 - 1944


Pada masa ini gerakan politik nasionalisme perfilman mulai sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineaspun mulai menggagas, perlunya Klub Kritisi dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa dan Belanda.

Gayung bersambut. Kalangan film menanggapi respon politik tersebut dengan melahirkan organisasi bernama SARI (Sjarikat Artist Indonesia) pada 28 Juli 1940 di Prinsen Park (Lokasari Jakarta, di masa kini) yang dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan.

Tatkala Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te Teng Chun serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Wong Bersaudara pun beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Sementara para artisnya kembali ke media tonil atau sandiwara.

Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.

Kemudian Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha (cikal bakal lahirnya PFN di masa kini) pada bulan September 1942. Dan berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943, Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda. Di kantor ini pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari dan membuat sebuah film. Para sineas yang temasuk di dalamnya antara lain: Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak.

Pada masa ini, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang. Dan menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris).

Nama-nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya: Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo.

Untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat terbuka untuk pribumi.

Namun perfilman dan bioskop pada masa pendudukan Jepang ini juga mengalami masa dilematis. Jumlah bioskop semakin hari semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan.

Sejarah mencatat hanya sedikit film yang lahir masa ini, seperti: Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd. Arifien; Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih; Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam Pemerintahan Militer Jepang.

Dalam suasana politik seperti itu timbullah kesadaran kaum pribumi dalam melihat film bukan semata produk industri dan hiburan semata, melainkan juga sebagai media perjuangan. Tokoh pergerakan seperti Dr. Adnan K Gani pun ikut main dalm sebuah film.

Tapi karena produksi film makin hari makin surut, maka kegiatan para aktivis lebih banyak ke arah diskusi dan strategi politik. Dari aktifitas ini mulai muncul nama-nama pendekar seni, seperti: Usmar Ismail, Jayus Siagian, D. Jayakusuma. Ketiga orang inilah yang menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa bulan kemudian ditutup oleh Pemerintah Militer Jepang.

Di masa-masa inilah Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra dan digubah oleh Cornel Simanjuntak menjadi lagu. Sajak dan lagu Tjitra pertama kali dipublikasikan di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Di tahun 1946, sajak dan lagu tersebut difilmkan oleh Usmar Ismail.

Iklim politik mulai berubah, tatkala Jepang mulai terdesak di sana-sini hingga masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Pergerakan berbau pulotik ini kebanyakan diusung lewat kelompok-kelompok sandiwara. Di antaranya: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, D. Jajakusuma, Suryosumanto dan lain-lain mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka; Sementara itu di Sumatera Barat ada Sjamsoedin Syafei yang menggerakkan kelompok Ratu Asia.

Studio film Jepang, Nippon Eigha Sha, direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Soetarto. Pada masa ini pula lahir Berita Film Indonesia atau BFI.

Pada masa ini pula lahir tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).

Pada tahun 1946, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan darurat. Oleh karenanya di kota ini berdiri sekolah film bernama Cine Drama Institute atau CDI. Dan pendirinya, antara lain: Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul juga sekolah film bernama KDA yang dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini dan lain-lain. Para pendiri KDA ini juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit.

Film Indonesia yang lainnya yang diproduksi setelah kemerdekaan ini, antara lain: Air Mata Mengalir di Tjitaroem yang disutradarai oleh Rustam St Panidih, Anggrek Boelan (Anjar Asmara), Djaoeh Dimata (Anjar Asmara), Aneka Warna (Moh Said), Bengawan Solo (Jo An Tjiang), Harta Karun (Usmar Ismail), Menanti Kasih (Moh Said), Sehidup Semati (Fred Young), dan Tjitra (Usmar Ismail).

Pada era ini, minat masyarakat terhadap film-film Hollywood muncul kembali lagi. Film-film ini masuk dengan sangat mudah melalui sebuah agen pengimpor film yang dikenal dengan sebutan AMPAI (American Motions Pictures Asociation in Indonesia) yang merupakan perwakilan dari perusahaan-perusahaan film, seperti: Paramount, Universal, 21Century Fox, MGM, Columbia, dsb. Masuknya film-film impor ini dengan mudah ke tanah air karena sama sekali tak dibatasi kuota impornya.

Berbicara Film Indonesia pada era ini, maka tak enak rasanya kalau tidak menyebut sosok Usmar Ismail.

Usmar Ismail lahir pada tahun 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat dan meninggal pada tahun 1971. Di tahun 1946, saat kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta, sebagai wartawan yang ikut meliput Perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda dan baru dibebaskan pada tahun 1949.

Pada bulan Maret 1950, Usmar Ismail membentuk Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) dengan kantor pusatnya di Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat. Di saat yang sama, bersama Djamaluddin Malik (ayahanda Camelia Malik) beliau membentuk Perseroan Artis Film Indonesia (PERSARI). Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa yang syuting pertamanya pada 30 Maret 1950. Pada tanggal itulah dijadikan sebagai Hari Film Indonesia atau hari kelahiran Film Indonesia.

Pada tahun 1952 - 1953, Usmar Ismail sempat mengenyam studi di Universitas Los Angeles jurusan film dan mendapat gelar Bachelor Of Art.

Di sisi lain, pada tahun 1952, dengan tangan dingin dari Djamaluddin Malik PERSARI sudah memiliki studio terbesar di Asia Tenggara dan sudah melakukan produksi bersama dengan Filipina, yaitu: Rodrigo de Villa dan Leilana.

Pada masa ini pula para produser Cina bangkit dan kembali membuat film-film menghibur dan laku. Mereka juga mendatangkan film-film dari Filipina, Malaysia dan India yang kemudian menguasai bioskop.

Dalam kurun waktu yang tak terlalu lama, masyarakat dan pers pun mulai jengkel karena dominannya film hiburan, sementara film berkualitas tidak kebagian tempat. Oleh karenya Dr. Huyung atau Enatsu Heitaro mulai meneriakkan perlunya Undang-undang Perfilman. Sebab pada saat itu organ pemerintah yang berkaitan dengan film hanya Badan Sensor Film.

Menginjak tahun 1954, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail mulai membentuk organisasi Gabungan Producers Film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Producers Film Indonesia dan akhirnya di kemudian hari menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI)

Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, Asrul Sani dan Suman Jaya serta beberapa bintang lain yang telah banyak memberi sumbangsih pada dunia film, mulai dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi dan sejumlah 'gelar' yang menyakitkan. Untuk menghadapi intrik-intrik dari PKI, Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan Asrul Sani bergabung dengan LESBUMI (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ dari Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Tahun 1955, nasib perfilman Indonesia kembali mengalami masa surut karena harus menghadapi persaingan ketat dari film-film Malaya (Malaysia kini) dan menyusul maraknya film-film India. Film asal kedua negara ini sangat menyedot penonton kelas menengah dan bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas atas menolak memutar film nasional dan dimonopoli oleh film-film impor dari Amerika Serikat (dengan AMPAI-nya), J. Arthur Park dari Inggris dan beberapa film dari perusahaan film dari Belanda.

Namun di tahun yang sama pula, Festival Film Indonesia lahir dan menuai hasil yang kontroversi. Ini disebabkan karena Film Terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi Sutradara Terbaik adalah Lilik Soedjio lewat film Tarmina. Sementara Aktor dan Aktris Terbaiknya masing-masing dua orang dari kedua film itu: AN Alcaff dan Abdul Hadi serta Dhalia dan Fifi Young.

Setahun kemudian, tepatnya di tahun 1956, para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia (PERFEPI). Sementara Suryosoemanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Melalui organisasi-organisasi perfilman ini, para dilakukan aksi melawan dominasi film impor.

Terjadi pertentangan tajam antara orang film yang dilatarbelakangi politik (antara komunis dan non-komunis)ini yang membuat FFI gagal terselenggara di tahun 1957, 1958 dan 1959. Apalagi kala itu, Djamaluddin Malik dikenai tahanan rumah dalam kasus politik. Begitu bebas di tahun 1960, dia bergegas mengadakan FFI II. Pemenangnya adalah film Turang, berikut sutradaranya Bachtiar Siagian (yang berhaluan komunis). Namun di ajang Festival Asia Tokyo, film tersebut gagal meraih penghargaan. Namun artis Suzanna yang membintangi film Asrama Dara karya Usmar Ismail malah meraih penghargaan sebagai Aktris Cilik Terbaik.

Di Tahun 1960, di Festival Film International Moskow, Bambang Hermanto mendapat penghargaan sebagai peran utama terbaik dalam film Pedjuang karya Usmar Imsail.

Ketika PKI dan partai-partai golongan kiri membentuk Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis AS (PARFIAS), mereka tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film NAsional. Mereka menuntut supaya tanggal 30 April 1964-lah (tanggal berdirinya PARFIAS) yang harus diakui sebagai Hari Film Nasional. Di sisi lain, aksi ini benar-benar memporak-porandakan perfilman dan bioskop di Indonesia. Dari 753 bioskop yang terdaftar, cuma 350 saja yang aktif beroperasi. Selebihnya malah menutup bioskop mereka.

Terbukti setelah boikot ini usai dan impor film kembali normal di tahun 1966, bioskop-bioskop baru bermunculan. Film-film Hollywood masih mendapatkan tempat utama dari penonton Indonesia. Film Indonesia sendiri masih belum bisa bangkit dari keterpurukannya. Produksi film lokal terus menurun. Meskipun sempat diadakan FFI III pada bulan Agustus 1967, tetap saja belum sanggup menggairahkan produksi film lokal. Begitu pula dengan kehadiran teknologi baru cinemascope dan film berwarna di tahun 1968, belum sanggup mendatangkan gairah baru.

diambil dari : nara sumber