Tuesday, February 3, 2009

Sejarah Perfilman Nasional

Film pertamakali diperkenalkan kepada khalayak Indonesia (Hindia Belanda pada masa itu) pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa ini film disebut sebagai “Gambar Idoep". Hal ini termaktub dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900): "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."

Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya.

Selain melakukan promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat yang terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP) dan Kelas III (kemudian disebut kelas "kambing" yang identik dengan pribumi). Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Namun film yang sebenar-benarnya dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, dengan dukungan Wiranatakusumah V (Bupati Bandung pada masa itu. Pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).

Pada masanya, gedung bisokop ini dibangun sebagai bagian yang terpisahkan dari kawasan Jalan Braga, Bandung. Sebuah kawasan belanja bergengsi bagi para Meneer Belanda pemilik perkebunan. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer itu akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan. Didirikan pada awal dekade tahun ’20-an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker.

Gedung Bioskop Majestic, di masa kini

Pemutaran film pada masa ini, biasanya didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Pemutaran filmnya sendiri baru dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar, di pelataran bioskop Majestic, sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian. Menjelang film akan mulai diputar, orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih meruapakan film bisu. Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.


ERA 1930 - 1941



Tahun 1931-an, Perfilman Indonesia mulai bersuara. Bahkan film dari Hollywood yang masuk sudah menggunakan teks melayu. Sejarah mencatat, pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Menyusul Eulis Atjih (masih dari produser yang sama). Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yg membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yg memproduksi Setangan Berloemoer Darah.

Menyusul Resia Boroboedoer, Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda dan Ata De Vischer, Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menika (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.

Selama kurun waktu itu (1926 - 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskopun ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve , hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.

Pada periode 1933-1936, perfilman Hindia Belanda diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.

Di tahun 1937, Film musikal "Terang Boelan" (het Eilan Der Droomen) menjadi film terpopuler di eranya dan mencuatkan nama Roekiah serta Raden Mochtar sebagai pasangan aktror dan aktris yang paling digemari. Film ini adalah produksi dua kekuatan non-pribumi: Krugers dan Wong Bersaudara.

Hingga periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Pada periode ini, produksi film Indonesia mengalami panen pertama kali dan mencapai puncaknya pada tahun 1941. Ditahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yg diproduksi, terdiri dari 30 film cerita dan 11 film bersifat dokumenter. Film-film yang diproduksi pada masa ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga.

Tahun 1934 para pelaku industri film mulai membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia (Nederlandsch Indiche Bioscoopbond), menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film (Bond van Film Importeurs). Pada awalnya, pengurus dan anggotanya adalah orang-orang non-pribumi. Ketika dalam organisasi tersebut mulai masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belandapun mulai mencurigai badan tersebut sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka.

Oleh karenanya, Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman dengan membentuk Film Commissie (cikal bakal lahirnya Badan Sensor Film atau LSF di masa kini. Dasar hukumnya yang menjadi landasan dibetuknya Film Commisie adalah Film Ordonantie buatan Pemerintah Belanda (cikal bakal lahirnya BP2N dan Undang-Undang Perfilman Indonesia di masa kini).


ERA 1942 - 1944


Pada masa ini gerakan politik nasionalisme perfilman mulai sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineaspun mulai menggagas, perlunya Klub Kritisi dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa dan Belanda.

Gayung bersambut. Kalangan film menanggapi respon politik tersebut dengan melahirkan organisasi bernama SARI (Sjarikat Artist Indonesia) pada 28 Juli 1940 di Prinsen Park (Lokasari Jakarta, di masa kini) yang dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan.

Tatkala Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te Teng Chun serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Wong Bersaudara pun beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Sementara para artisnya kembali ke media tonil atau sandiwara.

Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.

Kemudian Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha (cikal bakal lahirnya PFN di masa kini) pada bulan September 1942. Dan berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943, Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda. Di kantor ini pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari dan membuat sebuah film. Para sineas yang temasuk di dalamnya antara lain: Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak.

Pada masa ini, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Pemerintah Pendudukan Jepang. Dan menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris).

Nama-nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya: Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo.

Untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat terbuka untuk pribumi.

Namun perfilman dan bioskop pada masa pendudukan Jepang ini juga mengalami masa dilematis. Jumlah bioskop semakin hari semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Penyebabnya hanya satu, harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan.

Sejarah mencatat hanya sedikit film yang lahir masa ini, seperti: Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd. Arifien; Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih; Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam Pemerintahan Militer Jepang.

Dalam suasana politik seperti itu timbullah kesadaran kaum pribumi dalam melihat film bukan semata produk industri dan hiburan semata, melainkan juga sebagai media perjuangan. Tokoh pergerakan seperti Dr. Adnan K Gani pun ikut main dalm sebuah film.

Tapi karena produksi film makin hari makin surut, maka kegiatan para aktivis lebih banyak ke arah diskusi dan strategi politik. Dari aktifitas ini mulai muncul nama-nama pendekar seni, seperti: Usmar Ismail, Jayus Siagian, D. Jayakusuma. Ketiga orang inilah yang menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa bulan kemudian ditutup oleh Pemerintah Militer Jepang.

Di masa-masa inilah Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra dan digubah oleh Cornel Simanjuntak menjadi lagu. Sajak dan lagu Tjitra pertama kali dipublikasikan di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Di tahun 1946, sajak dan lagu tersebut difilmkan oleh Usmar Ismail.

Iklim politik mulai berubah, tatkala Jepang mulai terdesak di sana-sini hingga masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Pergerakan berbau pulotik ini kebanyakan diusung lewat kelompok-kelompok sandiwara. Di antaranya: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, D. Jajakusuma, Suryosumanto dan lain-lain mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka; Sementara itu di Sumatera Barat ada Sjamsoedin Syafei yang menggerakkan kelompok Ratu Asia.

Studio film Jepang, Nippon Eigha Sha, direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Soetarto. Pada masa ini pula lahir Berita Film Indonesia atau BFI.

Pada masa ini pula lahir tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).

Pada tahun 1946, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan darurat. Oleh karenanya di kota ini berdiri sekolah film bernama Cine Drama Institute atau CDI. Dan pendirinya, antara lain: Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul juga sekolah film bernama KDA yang dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini dan lain-lain. Para pendiri KDA ini juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit.

Film Indonesia yang lainnya yang diproduksi setelah kemerdekaan ini, antara lain: Air Mata Mengalir di Tjitaroem yang disutradarai oleh Rustam St Panidih, Anggrek Boelan (Anjar Asmara), Djaoeh Dimata (Anjar Asmara), Aneka Warna (Moh Said), Bengawan Solo (Jo An Tjiang), Harta Karun (Usmar Ismail), Menanti Kasih (Moh Said), Sehidup Semati (Fred Young), dan Tjitra (Usmar Ismail).

Pada era ini, minat masyarakat terhadap film-film Hollywood muncul kembali lagi. Film-film ini masuk dengan sangat mudah melalui sebuah agen pengimpor film yang dikenal dengan sebutan AMPAI (American Motions Pictures Asociation in Indonesia) yang merupakan perwakilan dari perusahaan-perusahaan film, seperti: Paramount, Universal, 21Century Fox, MGM, Columbia, dsb. Masuknya film-film impor ini dengan mudah ke tanah air karena sama sekali tak dibatasi kuota impornya.

Berbicara Film Indonesia pada era ini, maka tak enak rasanya kalau tidak menyebut sosok Usmar Ismail.

Usmar Ismail lahir pada tahun 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat dan meninggal pada tahun 1971. Di tahun 1946, saat kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta, sebagai wartawan yang ikut meliput Perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda dan baru dibebaskan pada tahun 1949.

Pada bulan Maret 1950, Usmar Ismail membentuk Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) dengan kantor pusatnya di Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat. Di saat yang sama, bersama Djamaluddin Malik (ayahanda Camelia Malik) beliau membentuk Perseroan Artis Film Indonesia (PERSARI). Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa yang syuting pertamanya pada 30 Maret 1950. Pada tanggal itulah dijadikan sebagai Hari Film Indonesia atau hari kelahiran Film Indonesia.

Pada tahun 1952 - 1953, Usmar Ismail sempat mengenyam studi di Universitas Los Angeles jurusan film dan mendapat gelar Bachelor Of Art.

Di sisi lain, pada tahun 1952, dengan tangan dingin dari Djamaluddin Malik PERSARI sudah memiliki studio terbesar di Asia Tenggara dan sudah melakukan produksi bersama dengan Filipina, yaitu: Rodrigo de Villa dan Leilana.

Pada masa ini pula para produser Cina bangkit dan kembali membuat film-film menghibur dan laku. Mereka juga mendatangkan film-film dari Filipina, Malaysia dan India yang kemudian menguasai bioskop.

Dalam kurun waktu yang tak terlalu lama, masyarakat dan pers pun mulai jengkel karena dominannya film hiburan, sementara film berkualitas tidak kebagian tempat. Oleh karenya Dr. Huyung atau Enatsu Heitaro mulai meneriakkan perlunya Undang-undang Perfilman. Sebab pada saat itu organ pemerintah yang berkaitan dengan film hanya Badan Sensor Film.

Menginjak tahun 1954, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail mulai membentuk organisasi Gabungan Producers Film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Producers Film Indonesia dan akhirnya di kemudian hari menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI)

Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, Asrul Sani dan Suman Jaya serta beberapa bintang lain yang telah banyak memberi sumbangsih pada dunia film, mulai dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi dan sejumlah 'gelar' yang menyakitkan. Untuk menghadapi intrik-intrik dari PKI, Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan Asrul Sani bergabung dengan LESBUMI (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ dari Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Tahun 1955, nasib perfilman Indonesia kembali mengalami masa surut karena harus menghadapi persaingan ketat dari film-film Malaya (Malaysia kini) dan menyusul maraknya film-film India. Film asal kedua negara ini sangat menyedot penonton kelas menengah dan bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas atas menolak memutar film nasional dan dimonopoli oleh film-film impor dari Amerika Serikat (dengan AMPAI-nya), J. Arthur Park dari Inggris dan beberapa film dari perusahaan film dari Belanda.

Namun di tahun yang sama pula, Festival Film Indonesia lahir dan menuai hasil yang kontroversi. Ini disebabkan karena Film Terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi Sutradara Terbaik adalah Lilik Soedjio lewat film Tarmina. Sementara Aktor dan Aktris Terbaiknya masing-masing dua orang dari kedua film itu: AN Alcaff dan Abdul Hadi serta Dhalia dan Fifi Young.

Setahun kemudian, tepatnya di tahun 1956, para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia (PERFEPI). Sementara Suryosoemanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Melalui organisasi-organisasi perfilman ini, para dilakukan aksi melawan dominasi film impor.

Terjadi pertentangan tajam antara orang film yang dilatarbelakangi politik (antara komunis dan non-komunis)ini yang membuat FFI gagal terselenggara di tahun 1957, 1958 dan 1959. Apalagi kala itu, Djamaluddin Malik dikenai tahanan rumah dalam kasus politik. Begitu bebas di tahun 1960, dia bergegas mengadakan FFI II. Pemenangnya adalah film Turang, berikut sutradaranya Bachtiar Siagian (yang berhaluan komunis). Namun di ajang Festival Asia Tokyo, film tersebut gagal meraih penghargaan. Namun artis Suzanna yang membintangi film Asrama Dara karya Usmar Ismail malah meraih penghargaan sebagai Aktris Cilik Terbaik.

Di Tahun 1960, di Festival Film International Moskow, Bambang Hermanto mendapat penghargaan sebagai peran utama terbaik dalam film Pedjuang karya Usmar Imsail.

Ketika PKI dan partai-partai golongan kiri membentuk Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis AS (PARFIAS), mereka tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film NAsional. Mereka menuntut supaya tanggal 30 April 1964-lah (tanggal berdirinya PARFIAS) yang harus diakui sebagai Hari Film Nasional. Di sisi lain, aksi ini benar-benar memporak-porandakan perfilman dan bioskop di Indonesia. Dari 753 bioskop yang terdaftar, cuma 350 saja yang aktif beroperasi. Selebihnya malah menutup bioskop mereka.

Terbukti setelah boikot ini usai dan impor film kembali normal di tahun 1966, bioskop-bioskop baru bermunculan. Film-film Hollywood masih mendapatkan tempat utama dari penonton Indonesia. Film Indonesia sendiri masih belum bisa bangkit dari keterpurukannya. Produksi film lokal terus menurun. Meskipun sempat diadakan FFI III pada bulan Agustus 1967, tetap saja belum sanggup menggairahkan produksi film lokal. Begitu pula dengan kehadiran teknologi baru cinemascope dan film berwarna di tahun 1968, belum sanggup mendatangkan gairah baru.

diambil dari : nara sumber

No comments:

Post a Comment